Assalamu'alaikum

Jumat, 07 Mei 2010

(Puisi Gie)

(Puisi Gie)
ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku

bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra

tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu

mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa”

Sebuah Tanya

Sebuah Tanya

“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”

(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”

(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”

(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)

“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”

Soe Hok GIe. 01-04-1969

mandalawangi pangrango


senja ini ketika matahari turun dalam jurang-jurang mu
aku kembali
kedalam ribaab mu, dalam sepimu dan dalma dinginmu
walaupun seetiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku berbicara denganmu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu, seperti kau terima daku
aku cinta padamu, pangrang yang dingin dan sepi
sungaimu adalah keabadian tentang tiada
hutanmu dalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semata
malam itu ketika dingin menyelimuti mandalawangi
kau datang kembali
dan bicara padaku tentang kehampaan
hidup adalah soal keberanian, menghadapi tanda tanya
tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita menawar
terimalah dan hadapilah
dan antara ransel-ranselkosong dan api unggun yangmembara
aku terima ini semua
melampaui batas-batas hutanmu, melampaui batass-batas jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup

Soe Hok Gie. Jakarta. 19-07-1969

Jumat, 19 Februari 2010

Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay


Sir Edmund Percival Hillary (Tuakau, 20 Juli 1919—Wellington 11 Januari 2008), adalah seorang pendaki gunung. Ia menjadi terkenal karena ialah yang pertama kali menaklukkan Gunung Everest, puncak tertinggi Pegunungan Himalaya. Mereka sampai ke puncak gunung 8.850 meter pada tanggal 29 Mei 1953, dalam pendakiannya Edmund Hillary dibantu oleh 150 pendaki profesional dtambah 750 orang pendukung perbekalan bersama pemandu Sherpa, Tenzing Norgay.
Sir Edmund Hillary di Antartika.

Setelah berhasil, Edmund Hillary terutama memusatkan perhatiannya untuk memperbaiki kondisi hidup penduduk Nepal, terutama kaum Sherpa.


Tenzing Norgay (dalam Bahasa Nepal : तेन्जिङ नोर्गे शेर्पा, GM (Mei 1914 - 9 Mei, 1986), sering disebut Sherpa Tenzing, adalah seorang pendaki gunung Sherpa di Nepal. Sekitar ulang tahunnya yang ke-39 yaitu pada 29 Mei 1953, ia dan Sir Edmund Hillary adalah orang-orang yang pertama kali mencapai puncak Gunung Everest.


Awal Hidupnya

Tenzing berasal dari keluarga petani dari Khumbu di Nepal, sangat dekat dengan Gunung Everest, yang mana sering disebut Chomolungma oleh orang-orang Sherpa.

Hari kelahirannya tidak diketahui dengan pasti, tapi melalui cuaca dan panen ia mengetahui bahwa pada saat itu adalah sekitar akhir bulan Mei. Setelah pendakiannya di Gunung Everest pada 29 Mei, ia memutuskan untuk merayakan hari ulang tahunnya setelah hari itu.

Nama aslinya adalah "Namgyal Wangdi", tapi seperti beberapa anak, namanya diganti karena nasehat seorang kepala guru agama dan penemu biara Rongbuk, Ngawang Tenzin Norbu. Tenzing Norgay diterjemahkan sebagai "pengikut agama yang kaya dan beruntung". Ayahnya, Ghang La Mingma (meninggal tahun 1949) penggembala sejenis sapi yang berbulu panjang, dan ibunya adalah Dokmo Kinzom (yang masih hidup dan menyaksikannya mendaki Gunung Everest); ia adalah anak ke 11 dari 13 bersaudara yang kebanyakan meninggal di usia muda.

Sewaktu masih remaja, ia melarikan diri ke Kathmandu sebanyak 2 kali, dan pada usia 19 tahun, akhirnya menetap di komunitas orang Sherpa di Too Song Bhusti di Darjeeling, Bengali Barat, India.

Norman Edwin


Norman Edwin (1955 - 1992) adalah pecinta alam legendaris dan wartawan Kompas. Penggiat kegiatan alam terbuka di Indonesia mengenang Norman Edwin sebagai salah satu pelopor ekspedisi besar ke beberapa gunung ternama dunia. Ia banyak menulis tentang kegiatan penjelajahan alam di sejumlah majalah dan surat kabar pada tahun 1980-an.

Ia wafat pertengahan April 1992 saat mendaki Gunung Aconcagua (6.959 meter di atas permukaan laut) di perbatasan Argentina - Cile bersama rekannya, Didiek Samsu Wahyu Triachdi. Pendakian tersebut adalah bagian dari seri pendakian oleh Mapala UI dalam ekspedisi Seven Summit atau pendakian tujuh puncak dunia (Aconcagua, Cartensz Pyramid di Papua [4.884 mdpl], McKinley di Alaska (Amerika Serikat) [6.194 mdpl], Kilimanjaro di Tanzania (Afrika) [5.894 mdpl], dan Elbrus di Rusia [5.633 mdpl]).

Soe Hok Gie (1942-1969)


Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.



Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.

Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.

Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.

Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.


Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.


Makam soe Hok Gie
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.



Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Catatan Seorang Demonstran

John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.

Ref : http://prasetyaade.blogspot.com/2006/12/presiden-soekarno-presiden-pertama.html
http://yulian.firdaus.or.id/2004/12/16/soe-hok-gie/
http://id.wikipedia.org/wiki/Soe_Hok_Gie

Kamis, 18 Februari 2010

Into Thin Air (Kisah Tragis Pendakian Everest)


Buku ini mengisahkan tentang pendakian Everest tahun 1996, yang berakhir tragis. Jon Krakauer, kontributor majalah Outside, dibiayai untuk ikut tim pendakian Everest yg dipandu Rob Hall. Dari 26 anggota tim, hanya 5 orang yg berhasil mencapai puncak, dan hanya Jon Krakauer yg selamat menuruni gunung untuk menceritakan pengalamannya.
Masih belum bisa kumengerti mengapa orang harus mempertaruhkan nyawanya hanya untuk membuktikan eksistensinya. Mengapa harus melawan alam ? Mengapa harus mencoba menaklukkan gunung setinggi 29.028 kaki ? Yang bisa marah sewaktu-waktu, yang datangnya badai kadang tidak bisa diprediksikan sebelumnya. Yang udaranya sangat tipis sehingga untuk bernafas saja orang perlu tabung oksigen, dan juga angin yg sangat kencang hingga 400km/jam. Mengapa harus Everest ?
Padahal mendaki Everest tidak bisa dibilang murah. Di tahun 1996 tarif pemandu kelas 3 saja sebesar 10 ribu US dollar, tidak termasuk hotel dan transportasi. Pemandu nomor satu seperti Rob Hall dibayar 65 ribu US dollar per klien yang dipandunya untuk mendaki Everest. Dan tidak selalu sampai ke puncak.
Nah, mengapa masih banyak orang yg terobsesi untuk menaklukkannya ?

Entah apa pengaruh buku ini bagi para pendaki gunung yg telah membacanya, bagiku …rasanya kepuasaan mencapai puncak tidak sebanding dengan kehilangan uang sebanyak itu ditambah risiko kehilangan nyawa. Masih terbayang kengerian melihat kematian demi kematian yang dituliskan Jon di buku ini. Dan mungkin kengerian ini juga akan membayangi anda setelah anda selesai membaca hingga halaman terakhirnya.
Selamat membaca !